Jalah petua (iringan awan)
Hari yang panas untuk berjalan pulang sekolah, aku sesegera mungkin berlari karena ingin mandi di sungai. Di jalan aku melihat seorang nenek (cerita klasik), dia sedang berjalan untuk mengantarkan makanan kepada suaminya yang sedang bekerja di sawah(koq bisa tiba2 tau) dan dia adalah tetanggaku (pantes aja tau). Kondisi ekonominya mungkin hamper sama dengan keluargaku, maksudku aku dan bapakku. Semuanya serba kekurangan (tapi jangan kekurangan iman) tidak ada hal mewah yang bisa ditunjukkan, sama seperti tas tahan air dan sepatu kulitku ini.
Aku tahu nenek itu sedang kesusahan, namun aku juga kesusahan. Walau sesama kesusahan kita seharusnya saling bantu, tapi karena aku juga ada kerja di sungai maka aku tak sempat menolongnya (memangnya kamu setiap bertemu, pernah menolongnya ?). sampai di rumah aku shalat dan berganti pakaian dengan mode bekerja dan tak lupa mengambil beberapa peralatan yang diperlukan(endel sekali). Dan saat aku keluar rumah aku mendengarkan hal yang setiap bulan biasanya diumumkan yaitu info warga yang meninggal dan yang meninggal adalah suami nenek yang kutemui tadi di jalan. “pertanda apakah ini ?” tanyaku, tapi aku memutuskan bilang ke bapak bahwa tetangga kita ada yang meninggal dan sebaiknya datang kerumahnya dan bowoh adalah istilah yang dipakai untuk berkunjung ke keluarga orang yang meninggal dunia.
Bapakku membantu memandikan sang jenaza, dan aku melihat nenek yang tadi sedang menangis (wajar donk) ditangannya masih ada makanan yang dia bawa tadi, terus dan terus menangis dari saat jenaza dikafani, dibawa ke makam, sampai sang jenaza sudah dikubur nenek itu menangis di atas makam jenaza itu. Dan aku memperhatikan sesuatu yang agak ganjal bagiku.
Aku ingat saat di sekolah aku diajarkan tentang siklus hujan, hujan berasal dari awan, dan awan adalah uap air. Dari saat aku bersama nenek, cuaca yang terasa panas menjadi sejuk (bagiku), kulihat ada awan diatas mengikuti nenek yang bersamaku. Apakah itu uap dari air mata nenek itu ?
Komentar
Posting Komentar